skip to Main Content
3 Kendala Utama Yang Menghalangi Kinerja Pekerja Ranah Digital Di Asia

3 Kendala Utama yang Menghalangi Kinerja Pekerja Ranah Digital di Asia

Ekonomi digital berpotensi menjadi platform penyeimbang yang menutup jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin di seluruh dunia. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa tantangan besar yang terlebih dahulu harus dilaluinya.

Di wilayah Asia, sebuah penelitian telah melaporkan bahwa ada tiga hal yang paling menghambat para pelaku bisnis online atau pekerja paruh waktu: korupsi di pemerintahan, perbedaan bahasa, dan kurangnya rasa percaya diri atau pendidikan tentang ekonomi digital. Terkadang infrastruktur di beberapa daerah juga menjadi faktor penghambat.

Pekerja digital adalah sebutan untuk orang yang melakukan transaksi bisnis secara online, baik jual beli barang atau jasa. Sebaliknya, survei dalam penelitian tersebut menemukan bahwa syarat untuk menjadi pekerja digital yang baik di pasar global adalah etos kerja yang kuat (kerja keras, keinginan kuat, kemauan untuk belajar, dan rasa percaya diri) dipadukan dengan koneksi internet yang baik.

Laporan bertajuk Digital Economy in Asia ini diterbitkan oleh Payoneer, perusahaan yang memproses pembayaran dalam 150 mata uang dari dua ratus negara berbeda, setelah menyurvei para top user di sebelas negara, yaitu Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Negara-negara tersebut memiliki karakteristik berbeda-beda sebagai lahan bisnis. Ini bisa dilihat dari kondisi ekonomi, penggunaan internet, dan kebutuhan pekerja digital di tiap negara.

Pekerja Digital | Populasi Online

Data ini menunjukkan bahwa tiap negara memiliki populasi pengguna internet yang berbeda-beda

Bangladesh

Lebih dari setengah PDB (Produk Domestik Bruto) negara ini datang dari sektor jasa, sementara produk garmen menyumbang sekitar delapan puluh persen jumlah ekspor di tahun 2015. Meski ekonomi Bangladesh memiliki pertumbuhan tertinggi ke-25 di dunia (enam persen) sejak tahun 2000-an awal, negara ini terhambat oleh infrastruktur dan ketersediaan energi yang buruk, korupsi dan kondisi politik yang tak stabil, serta tidak adanya undang-undang ekonomi yang efisien.

Pekerja digital di Bangladesh umumnya adalah pekerja lepas, afiliasi, outsource, dan penyedia layanan IT. Bahasa menjadi batu sandungan di sini, sebab 98,8 persen penduduk hanya bisa bahasa Bengali, dan hanya 0,07 persen yang bisa berbicara dalam bahasa Inggris.

Cina

Cina menduduki peringkat pertama dunia dalam hal populasi online. Lebih dari setengah penduduk negara tersebut menggunakan internet, sebagian besar via telepon genggam. Pertumbuhan ekonomi ada di angka 6,9 persen, sedikit turun dari tahun-tahun sebelumnya, tapi masih tergolong tinggi.

Meskipun jumlah kelas menengah di Cina beserta pendapatan mereka tumbuh, harga-harga rumah dan inflasi juga meningkat dengan pesat. Akibatnya para pekerja harus digaji lebih tinggi, menghasilkan kondisi yang tidak ideal bagi perusahaan kecil.

Di sisi lain, masyarakat yang lebih suka menabung daripada belanja itu tidak baik bagi para penjual, dan masalah lain seperti korupsi dan polusi lingkungan turut memperburuk iklim bisnis di negeri tirai bambu.

Perbedaan bahasa, kurangnya penerjemah yang baik, dan perbedaan kultur (terutama dalam hal kualitas produk) adalah masalah bagi para pekerja digital.

India

Ekonomi India terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, dan diperkirakan akan terus tumbuh berkat tingginya populasi muda serta tingkat tabungan dan investasi yang cukup sehat. Internet murah telah memudahkan masyarakat untuk masuk ke ekonomi digital dan berbisnis online. Demonetisasi menyebabkan turunnya penggunaan uang tunai, dan meningkatkan prospek ekonomi digital di negara tersebut.

Meski demikian para pekerja masih bisa menemukan beberapa masalah, seperti padamnya aliran listrik, hukum hak cipta yang masih di bawah standar, serta rendahnya kesempatan untuk bekerja di luar bidang agrikultur.

Sementara itu, jumlah tenaga kerja wanita juga terus menurun. Dari keseluruhan karyawan di India, hanya 25 persen terdiri dari wanita.

Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia tengah menghadapi akhir masa naik daunnya ekspor dan masih punya banyak “pekerjaan rumah” seputar bidang infrastruktur, tapi sebagian seniman di Indonesia mulai naik pamor di dunia bisnis digital. Banyak klien dari seluruh dunia yang mau membayar layak untuk pekerjaan mereka

Distribusi yang belum merata di seluruh wilayah, korupsi di pemerintahan, dan peraturan yang rumit adalah kendala terbesar di negara ini, di samping masalah pengangguran dan kemiskinan.

Jepang

Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo di tahun 2020 berimbas baik bagi ekonomi negeri sakura, terutama bisnis pariwisata dan akomodasi seperti Airbnb. Akan tetapi, para entrepreneur digital di sini mengalami masalah perbedaan bahasa, kesulitan untuk berkenalan dengan orang baru, serta kurangnya kemampuan pemasaran.

Korea Selatan

Korea Selatan, sama seperti Jepang, memiliki masalah usia populasi yang semakin tua. Korporasi-korporasi besar dan pasar tenaga kerja yang kaku membuat kegiatan transaksi bisnis online terhambat. Namun kekuatan negara ini terletak di bidang ekspor, yang berkontribusi terhadap setengah dari PDB.

K-Pop dan produk-produk kecantikan Korea meraih sukses secara global

“Kendala terbesarnya, menurut saya, adalah kurangnya rasa percaya diri terhadap potensi dan motivasi milik pribadi,” tulis seorang responden. “Ditambah lagi, di tingkat yang lebih fundamental, Korea tidak punya platform terbuka untuk jual beli [antar konsumen].”

Malaysia

Studi Payoneer menyebut Malaysia sebagai “ekonomi digital yang bertumbuh dan memiliki potensi untuk menjadi pemain besar e-commerce” di ranah global. Ini bisa dilihat dari perubahan pemerintahan yang ditujukan pada pertumbuhan ekonomi, tingginya porsi ekspor di PDB (delapan puluh persen), dan cadangan devisa yang sehat. Dengan kata lain, Malaysia tidak perlu khawatir akan terjadinya krisis finansial.

Akan tetapi, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara ini rentan terhadap penurunan aktivitas ekonomi global, sedangkan para investor masih belum cukup banyak menanamkan modal mereka.

Di bidang e-commerce, kemampuan bahasa Inggris yang baik memberi peluang sukses bagi para pekerja digital, tapi masih ada kendala dalam hal pemasaran serta pengetahuan tentang bidang perdagangan online secara umum.

Pakistan

Mirip Malaysia, Pakistan juga mengalami tingkat investasi langsung yang rendah. Pertikaian politik internal juga menghambat pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan yang kurang memberi tantangan lebih. Ekspor terbesar negara ini sendiri ada pada produk tekstil dan pakaian jadi.

Para responden menyatakan bahwa layanan IT di Pakistan mencukupi, sedangkan kendala terbesar ada pada kompetisi dan bujet yang ketat. Para pekerja digital di negara ini punya keinginan besar untuk mendapat bayaran secara instan.

Filipina

Meskipun tingkat investasi luar negeri di Filipina juga relatif rendah, negara ini memiliki sistem perbankan yang stabil berkat kecilnya ketergantungan pada ekspor, tingginya konsumsi domestik, dan industri outsourcing yang berkembang dengan pesat. Sayangnya tingkat pengangguran masih tinggi yaitu sekitar 6,5 persen, begitu pun dengan tingkat underemployment (pekerja yang bekerja di bawah level kemampuannya) yang masih ada di angka dua puluh persen.

Apa yang dibutuhkan seorang pekerja digital agar menjadi hebat di Filipina? Mereka yang berhenti dari kerja full-time untuk beralih ke jasa freelance harus punya kesadaran kultur yang tinggi, percaya diri, pandai, dan punya kemampuan bahasa yang baik.

Thailand

Laporan Payoneer menunjukkan bahwa Thailand memiliki sejarah ekonomi yang kuat, infrastruktur yang baik, dan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada investasi dan usaha terbuka. Pasar ekspor negara ini cukup kuat, meliputi produk-produk elektronik, agrikultur, mobil dan onderdilnya, serta makanan olahan. Pemerintah pun terus berusaha mengatasi masalah finansial di kaum kelas menengah.

Thailand mengalami masalah kekurangan tenaga kerja, sehingga berujung pada tingginya jumlah tenaga kerja asing yang masuk. Kekacauan politik dalam negeri dan rendahnya permintaan dari luar negeri turut menambah masalah.

Para pekerja digital yang disurvei menginginkan adanya marketplace terbuka serta solusi untuk kendala perbedaan bahasa, terutama untuk pasar Cina.

“Banyak bisnis online masih berasumsi bahwa seluruh konsumen mereka berada di Amerika Serikat, sehingga menciptakan tabir bagi mereka yang ada di negara-negara lain,” demikian tulis seorang responden.

Vietnam

PDB negara Vietnam meningkat dari angka pertumbuhan 5,4 persen di tahun 2013 ke 6,7 persen di tahun 2015, dan jumlah tenaga kerjanya meningkat lebih dari satu juta jiwa per tahun. Berbagai bidang usaha seperti perbankan, investasi publik, dan badan usaha milik negara, kesulitan untuk mengikuti pertumbuhannya.

Bahasa merupakan penghalang bagi ekonomi digital di negara ini. Kurangnya wawasan kultural dan kecenderungan untuk fokus pada penghasilan jangka pendek juga masih bisa diperbaiki. Sementara itu industri yang populer bagi pekerja digital adalah bisnis t-shirt dan affiliate marketing.

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Kylee McIntyre. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi sesuai standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)

The post 3 Kendala Utama yang Menghalangi Kinerja Pekerja Ranah Digital di Asia appeared first on Tech in Asia Indonesia.

Source: TechinAsia

Back To Top