Menilik Risiko dan Tantangan Startup Sektor Pertanian di Indonesia
Sebagai negara agraris, pertanian di Indonesia selalu dianggap punya pengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi. Walau sebenarnya negara kita juga bergantung pada sektor yang lain.
Meski begitu, potensi pertanian telah mencuri perhatian pelaku bisnis startup tanah air. Terbukti dengan munculnya beragam startup yang membawa berbagai macam model bisnis. Mulai membantu dari segi distribusi hasil pertanian, solusi permodalan, efisiensi panen, dan masih banyak lagi.
Pantauan Tech in Asia kurun waktu sembilan tahun terakhir, tercatat kurang lebih ada 33 startup lokal yang fokus di bidang agritech dan unsur pendukungnya. Dengan jumlah yang tidak tergolong banyak (dibandingkan sektor lain), startup pertanian sepertinya punya tantangan tersendiri.
Hal inilah yang membuat pemain baru perlu berpikir panjang sebelum ikut meramaikan ceruk yang tersedia? Lantas apa saja risiko dan tantangannya?
Kebutuhan modal yang tidak sedikit
Tantangan terbesar yang sering dihadapi pelaku startup sektor pertanian adalah jumlah kapital (modal) yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan kendala terbesar mereka dalam urusan akuisisi user, terutama untuk menggaet petani sebagai basis pengguna layanan.
Berbeda dengan masyarakat urban atau kalangan pedagang yang nyaris setiap saat bersinggungan dengan teknologi, petani merupakan konsumen yang perlu strategi retensi khusus agar mereka aktif menggunakan produk atau layanan dari startup terkait.
Untuk startup yang fokus kepada distribusi hasil pertanian misalnya, tantangan yang dihadapi lebih terfokuskan pada aktivitas “jemput bola” atau merchant acquisition, agar petani mau menjual produknya ke mereka.
Tantangan tersebut jelas berbeda dengan startup agritech lain yang memiliki model bisnis semacam perangkat Internet of Things (IoT), aplikasi smart-mobile, fintech dan sebagainya. Karena pemain sektor ini juga perlu memperhitungkan biaya untuk mengedukasi petani agar tetap menggunakan produk mereka.
Sanny Gaddafi selaku CEO 8Villages menuturkan, bahwa kalangan petani adalah target pasar yang tidak mudah dijangkau apabila tidak diimbangi proses edukasi yang efektif dan kontinu. Untuk mencapai tahap yang diinginkan, setidaknya dibutuhkan waktu, tenaga dan kesabaran ekstra, dan tentu memakan biaya tidak sedikit.
Hal senada juga dirasakan Crowde. Startup pendukung kebutuhan pertanian. Untuk mengedukasi petani, mereka mengaku cukup memakan waktu yang tidak sebentar. Terkadang menghabiskan waktu satu sampai tiga bulan. Bahkan untuk yang paling cepat pun bisa satu hingga dua minggu.
Ada banyak tantangan yang (umumnya memakan biaya tidak sedikit). Untuk startup periferal teknologi semacam eFishery, kami perlu mempertimbangkan aspek manufaktur hingga orientasi petani agar paham penggunaan teknologinya.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada solusi yang bisa diambil untuk mengakali proses edukasi yang panjang tersebut. Langkah strategis seperti bekerja sama dengan pemangku kepentingan (regulator daerah), hingga perusahaan startup yang telah berkecimpung di ranah ini lebih awal bisa menjadi alternatif. Biar modal yang dikeluarkan bisa ditekan.
Ketergantungan musim panen berpotensi mempengaruhi sustainability startup
Faktor lain yang juga jadi pertimbangan sebelum menggeluti sektor ini adalah ketahanan model bisnisnya yang alot. Terlebih jika subjek yang dikelola terkait langsung dengan komoditas hasil panen petani.
Aktivitas panen di Indonesia umumnya ditentukan kondisi musim. Hal ini bisa memberikan dampak signifikan apabila startup tidak memiliki strategi preventif untuk mencegah risiko yang lebih besar. Dampaknya terasa pada rencana bisnis jangka panjang.
Selain mengurangi pendapatan petani (subjek yang hendak dibantu startup) apabila gagal panen, hitungan bisnis investasinya juga bisa terbuang percuma. Oleh karena itu diperlukan kiat khusus untuk mengakalinya. Agar ketika terjadi kondisi demikian tidak berimbas pada bisnis yang dikelola.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut dengan melakukan kontrak beli putus dari petani. Hal ini pernah dilakukan Limakilo, startup yang mengutamakan hasil komoditas petani.
Umumnya, kami melakukan kesepakatan beli putus, jadi isu gagal panen bisa dihilangkan. Namun ada pula beberapa mitra yang kita inkubasi sendiri mulai dari awal pembelian bibit. Kasus ini tentu memiliki perbedaan penanganan, karena sudah pasti ada upaya preventif berupa penerapan SOP ketika gagal panen.
– Walesa Danto, LimaKilo
Belajar dari kasus di atas, risiko besar dari kegagalan musim panen umumnya dialami startup yang benar-benar menaungi petani dari hulu ke hilir.
Untuk itu sebelum terjun menekuni sektor pertanian, ada baiknya pihak startup memperhatikan aspek mana yang ingin mereka kelola. Karena kategori pertanian bukanlah sektor yang bisa dikejar dengan metode scale-up sekencang-kencangnya.
“Salah satu hal yang dapat menjadi bumerang (bagi pihak yang baru terjun sektor ini) adalah pola pikir praktis. Bahwa mereka bisa melakukan perubahan secepat mungkin dengan harapan menerima imbalan keuntungan dalam waktu singkat,” jelas Gibran Huzaifah, CEO eFishery.
Padahal kata Gibran saat sesi diskusi panel di Tech in Asia Conference Jakarta 2018 lalu, sektor pertanian bukanlah kategori permasalahan yang bisa diselesaikan secara instan.
Rintangan memutus rantai tengkulak
“Membantu petani sekaligus memutuskan rantai tengkulak”. Kalimat tersebut umumnya ditawarkan startup sektor pertanian lewat pitchdeck kepada investor.
Meskipun terdengar solutif, namun dalam penerapannya di lapangan tidaklah mudah. Karena diperlukan jalan keluar lain selain produk atau layanan yang kita tawarkan kepada mereka.
Pasar komoditi pertanian umumnya bersifat mono atau oligopsoni yang artinya kerap dikuasai pedagang besar. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi eksploitasi harga yang berujung merugikan petani.
Karena keberadaan oknum semacam itu sering kali jadi penghambat, sangat perlu dicarikan jalan keluar. Salah satunya lewat penguatan sistem kelembagaan komunitas tani di daerah. Seperti yang dilakukan LimaKilo.
“Ada beberapa kejadian mitra petani kami mendapat tekanan dari pihak yang tidak jelas. Namun seiring berjalannya proses, kami selalu mendukung mereka mendirikan komunitas di level Desa, sehingga hal seperti itu tidak terjadi lagi,” ungkap Walesa.
Dikutip dari Detik, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan, saat ini pasar pangan di Indonesia nyaris 100% dikuasai oleh kegiatan kartel atau monopoli.
Kenyataan seperti ini harus menjadi pertimbangan serius bagi pelaku startup pertanian. Karena selain hendak membantu Indonesia untuk lebih baik, juga turut andil dalam memberantas praktik tengkulak yang merugikan petani.
(Diedit oleh Ancha Hardiansya)
This post Menilik Risiko dan Tantangan Startup Sektor Pertanian di Indonesia appeared first on Tech in Asia.
The post Menilik Risiko dan Tantangan Startup Sektor Pertanian di Indonesia appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: TechinAsia