Konglomerat Misterius yang Membuat Oppo dan Vivo Meraih Sukses
Di awal era 2000-an, BBK Electronics Corporation berada di ambang kehancuran karena bisnis audiovisualnya merosot. Di bawah kepemimpinan sang pendiri, Duan Yongping, perusahaan elektronik konsumen asal Cina ini akhirnya melakukan pivot, beralih ke bisnis smartphone.
Keputusan ini membawa BBK ke restrukturisasi yang panjang dan dramatis. Hasilnya, mereka melahirkan Oppo dan Vivo. Satu dekade berlalu, kedua merek ini berhasil menjadi merek smartphone paling laris di dunia.
Meski dua perusahaan produsen ponsel ini beroperasi secara mandiri, peran BBK dan Duan kerap dianggap sebagai faktor kesuksesan mereka.
Walau Duan memutuskan pensiun di usia muda (20 tahun silam, usianya sekitar 40 tahun), pengaruh dan nasihatnya tak hanya berhasil menyokong Oppo dan Vivo, namun juga perusahaan Cina ternama lainnya seperti e-commerce Pinduoduo dan perusahaan internet NetEase.
Grup perusahaan yang penuh teka-teki
Meski BBK sering kali disebut sebagai salah satu produsen smartphone terbesar di dunia, BBK justru berusaha menghindar dari sorotan tersebut.
Media setempat kerap menyebut Duan sebagai Warren Buffett versi Cina. Menariknya, sosok Duan bahkan lebih misterius dibanding perusahaan elektronik yang ia bangun.
Duan berasal dari keluarga sederhana. Ia lahir di keluarga petani di provinsi Jiangxi di sebelah tenggara Cina tahun 1960-an. Di tahun 1978, Duan mendaftar ke Universitas Zhejiang di Hangzhou jurusan teknik elektronik nirkabel. Dia termasuk ke dalam kelompok mahasiswa pertama di negara itu yang lulus dari universitas setelah Revolusi Kebudayaan.
Setelah meraih gelar master dari Universitas Renmin di Beijing, Cina, Duan bekerja sebagai manajer di Zhongshan Yihua, sebuah pabrik yang merugi. Perusahaan tersebut terkenal karena membuat versi tiruan Family Computer atau Famicom, sebuah gaming console paling laris besutan Nintendo, di era ‘80-an.
Dibanderol dengan harga seperempat kali lebih murah dari versi orisinalnya, produk Yihua ini sukses besar. Namun, Duan tahu kesuksesan itu tidak akan cukup untuk membawa perusahaan maju lebih jauh.
Jadi, ia melakukan rebranding dengan mengubahnya menjadi perangkat edukasi yang memungkinkan anak-anak dan murid-murid untuk belajar Bahasa Inggris. Ia pun memilih nama baru: Subor atau Xiao Bawang, yang berarti “tiran kecil” dalam Bahasa Indonesia.
Perubahan ini ternyata berhasil. Duan membuat Subor menjadi produk yang menarik bagi anak-anak dan orang tua. Subor kini masih menjadi merek ikonik bagi masyarakat Cina yang lahir di era ‘80-an dan ‘90-an.
Di tahun 1995, penjualan produk tersebut mencapai ¥1 miliar (sekitar Rp2 triliun) dalam setahun. Sebelum Duan bergabung dengan Yihua, pabrik tersebut merugi ¥2 juta per tahun (sekitar Rp4 miliar). Kunci keberhasilannya adalah pemasaran.
Di tahun ‘90-an, reputasinya meningkat saat ia berhasil memenangkan tawaran untuk menyiarkan iklan di stasiun televisi pemerintah CCTV selama jam tayang utama, slot iklan paling bernilai dan didambakan banyak orang saat itu.
Dalam hal dukungan selebritas, Duan adalah rajanya. Pada masa itu, mengeluarkan jutaan dolar untuk kampanye iklan bukanlah hal yang umum dilakukan perusahaan Cina. Tapi Duan tetap melakukannya.
Ia menggandeng bintang legendaris Jackie Chan untuk mempromosikan Subor. Beberapa tahun berselang, ia merekrut bintang ternama di Hong Kong dan Hollywood seperti Jet li, Stephen Chow, dan Arnold Schwarzenegger untuk memuji produk-produk BBK.
Saat kariernya di Yihua berjalan mulus, Duan justru mengundurkan diri karena kontroversi publik terkait rencananya untuk melakukan spin off terhadap Subor. Rencana itu ditolak berulang kali.
Di tahun 1998, Duan mendirikan BBK di Dongguan, kawasan industri di provinsi Guangdong, Cina. Enam karyawan Yihua mengikuti langkahnya, termasuk di antaranya Shen Wei dan Tony Chen Mingyong– masing-masing akhirnya mendirikan Vivo dan Oppo.
Awalnya, Duan memegang 70 persen saham pengendali di BBK. Namun, ia akhirnya mengadopsi struktur kepemilikan saham karyawan. Ini merupakan langkah progresif di Cina saat itu karena memungkinkan karyawan, bahkan distributor, untuk mengambil bagian dalam perusahaan. Di sisi lain, langkah ini juga melemahkan saham Duan menjadi sekitar 17 persen.
Ide memberikan kepemilikan saham ke sejumlah karyawan sebenarnya sudah tumbuh di benak Duan sejak lama. Di Yihua, ia mendorong reformasi struktur kepemilikan saham. Menurut laporan media di Cina, hal ini dikarenakan Duan mengira perusahaan membayarnya lebih sedikit dari yang seharusnya ia dapatkan untuk kesuksesan Subor.
Hingga kini, karyawan di BBK Electronics, Vivo, dan Oppo memegang saham mayoritas lebih dari 60 persen.
Membangun kerajaan smartphone
Di awal berdirinya, BBK fokus pada tiga vertikal bisnis: perangkat komunikasi, peralatan audiovisual, dan perangkat elektronik untuk pendidikan. Di tahun 1999, Duan memisahkan mereka menjadi entitas bisnis yang berbeda.
Namun tak lama setelah itu, unit audiovisual ditutup lantaran industri DVD Cina terdampak keputusan perusahaan teknologi asing, seperti Sony dan Panasonic, yang mengenakan biaya royalti yang besar untuk teknologi mereka.
Di tahun 2001, tiga divisi tersebut sama-sama mendirikan Oppo. Karyawan unit audiovisual akhirnya bergabung dengan perusahaan tersebut.
Tiga tahun berselang, mantan pimpinan audiovisual Chen membeli hak merek tersebut. Di awal berdirinya, Oppo hanya fokus pada bisnis pemutar DVD dan MP3, kemudian terjun ke bisnis televisi LCD.
Di sisi lain, Vivo didirikan oleh kepala divisi komunikasi bernama Shen di tahun 2009. Telepon pertama Vivo dirilis pada 2011.
Bagi publik, hubungan BBK, Oppo, dan Vivo memang terbilang rumit. Ketiganya beroperasi sebagai entitas berbeda, namun memiliki sejumlah investor yang sama, kata juru bicara Oppo kepada Tech in Asia. Meski demikian, ia enggan menjelaskan lebih jauh.
“Secara publik, Oppo dan Vivo serta anak perusahaannya tidak bergantung pada BBK Electronics,” kata Flora Tang, Analis di Counterpoint Research.
Tang menjelaskan, BBK adalah pemegang saham untuk kedua perusahaan tersebut, meski tak diketahui jelas besaran saham yang mereka miliki. BBK merupakan pemegang saham mayoritas saat Oppo dan Vivo didirikan. Namun sahamnya di kedua perusahaan tersebut berkurang ketika sejumlah investor lain turut menanamkan saham.
Meski keduanya adalah bisnis otonom, Vivo merupakan anak perusahaan; Oppo adalah anak perusahaan lapis kedua yang secara finansial dikendalikan oleh BBK, demikian menurut pakar industri Liu Yan. Setiap tahun, BBK masih menerima dividen dari dua merek ini.
BBK juga memiliki pengaruh lain di anak perusahaannya. Karyawan dan jajaran eksekutif di Oppo dan Vivo sudah bekerja di BBK bertahun lamanya. Liu Lei, yang baru-baru ini menjabat sebagai President for Global Marketing Oppo, sebelumnya adalah karyawan yang mengikuti Chen di BBK.
Pengaruh BBK juga terlihat merek-merek yang dibuat Oppo, seperti Realme dan OnePlus, serta sub-merek Vivo, iQoo.
Merek teratas di Cina
Merek smartphone Cina mengalami pertumbuhan yang spektakuler dalam beberapa tahun terakhir.
Di kuartal kedua 2019, mereka menyumbang sekitar 42 persen pangsa pasar di dunia. Ini adalah angka pencapaian tertinggi yang baru. Pada kuartal sebelumnya, Oppo dan Vivo masuk ke dalam daftar enam smartphone teratas di dunia.
Oppo dan Vivo masuk ke pasar smartphone secara tak sengaja, yaitu ketika selera konsumen di Cina tak lagi terpuaskan sementara pasar saat itu didominasi oleh produsen smartphone kelas atas, seperti Apple dan Samsung. Merek asal Cina membidik segmen pasar kelas menengah dan memfokuskan upayanya pada kota-kota lapis ketiga dan keempat.
Namun, waktu bukanlah satu-satunya faktor untuk memulai bisnis smartphone mereka.
Sumber daya, pemasok, saluran penjualan yang terkumpul dari BBK telah membantu Oppo dan Vivo menapakkan kakinya di pasar smartphone dan menangkis sejumlah pesaing. Tanpa dukungan dan bimbingan BBK, dua perusahaan ini tidak akan bisa menggelontorkan dana besar untuk iklan dan pemasaran– yang telah terbukti berperan penting dalam pertumbuhan cepat mereka di Cina.
Dua merek ini memiliki portofolio yang sangat tipis. Awalnya, Oppo memiliki seri andalan R dan seri A. Dengan demikian, ia bisa memfokuskan sumber daya pemasaran untuk produk utamanya. Penjualannya pun melonjak.
Sekali lagi, kemampuan Duan menggaet selebritas pun dimanfaatkan. Vivo menggandeng NBA Cina dan berhasil menjadi sponsor handset mobile pada 2016 silam. Pebasket bintang Stephen Curry pun didaulat menjadi duta produknya.
Serupa dengan Vivo, Oppo juga bekerja sama dengan bintang pesepak bola asal Brasil, Neymar Jr, di tahun 2018. Oppo ikut pula menjadi sponsor utama tim kriket nasional India.
Oppo dan Vivo memiliki kesamaan atribut yang mereka dapatkan dari Duan: menawarkan produk dengan harga menengah, membidik konsumen muda, memadukan penjualan online dan pemasaran offline, dan sebagainya.
Pemikiran di balik dua merek ini adalah untuk membangun lingkungan kompetisi yang bersahabat agar keduanya dapat tumbuh, kata Duan.
Diferensiasi produk adalah kunci bagi produsen telepon, kata Liu dari Oppo. “Meski dua merek ini tampaknya memiliki positioning yang sama, keduanya membidik grup konsumen yang berbeda di demografi tersebut,” ia menjelaskan.
Strategi untuk menyasar konsumen tertentu juga sejalan dengan filosofi bisnis Duan tentang ben fen, yang berarti “tugas seseorang.” Filosofi ini mendorong bisnis untuk tetap fokus pada apa yang seharusnya dikerjakan tanpa lari sedikitpun.
Vivo dan Oppo melayani konsumen kelas menengah ke atas. OnePlus melayani konsumen yang tech-savvy dan berusia muda. Sementara Realme fokus menggarap pasar India dan Asia Tenggara.
Pakar industri Liu Yan memuji kultur BBK yang memungkinkan Oppo dan Vivo meraih kesuksesan hingga sejauh ini. “Ben fen juga bisa diinterpretasikan sebagai upaya menghasilkan uang yang memang seharusnya kamu hasilkan, melayani konsumen yang tepat dengan baik, sembari membangun produk yang berkualitas pula,” ia menjelaskan.
Pengaruh Duan
Di tahun 2002, Duan pensiun dan pindah ke Amerika Serikat untuk berkumpul dengan keluarganya. Sejak itu, ia mengabdikan dirinya ke dunia investasi dan filantropi. Meski ia sudah berpindah jauh, pengaruhnya tetap nyata di lanskap teknologi konsumen di Cina.
Duan dianggap sebagai mentor bagi banyak pebisnis teknologi di Cina. Selain membimbing Chen dari Oppo dan Shen dari Vivo, anak didik lainnya adalah Jin Zhijiang yang kini menjabat sebagai CEO BBK. Filosofi dan prestasinya ternyata juga telah menarik pebisnis teknologi, seperti Ding Lei dari NetEase dan Huang Zheng dari Pinduoduo.
Ketika gelembung dot-com Cina meledak di awal era 2000-an, kapitalisasi pasar NetEase merosot dari US$470 juta (sekitar Rp6,9 triliun) ke US$20 juta (sekitar Rp295 miliar). Saat itu Duan terkenal karena keputusannya membeli sekitar 2 juta saham NetEase. Harga saham NetEase saat itu anjlok hingga mencapai angka terendah 48 sen per saham.
Pendiri NetEase Ding Lei menemui Duan, bukan untuk meminta dana namun untuk meminta bimbingan bagaimana mempromosikan salah satu video game online buatan perusahaannya.
Setelah berdiskusi dengan Ding, Duan pun memutuskan berinvestasi ke NetEase. Di tahun 2003, NetEase bangkit dari keterpurukannya. Bisnis game perusahaannya melonjak. Ding juga menjadi orang terkaya di Cina tahun itu.
Huang, pendiri Pinduoduo, juga meminta bimbingan Duan dalam banyak kesempatan. Keduanya berkenalan berkat bantuan Ding dari NetEase. Setelah menyelesaikan studi masternya di Amerika Serikat, Huang mengikuti saran Duan dan bekerja di Google. Ketika Google menjadi perusahaan terbuka di tahun 2004, Huang langsung menjadi jutawan.
Di tahun 2007, Duan memenangkan tawaran makan siang amal dengan Warren Buffett sebesar US$620.000 (sekitar Rp9 miliar). Ia pun membawa Huang bersamanya (saat itu usia Huang masih 26 tahun).
Duan juga merupakan investor Pinduoduo. Namun bahkan sebelum Huang menjadi ternama, Duan mengizinkannya menjalankan bisnis e-commerce BBK dan mendirikan platform Ouku.com. Platform ini menjual produk elektronik konsumen.
Sejak pensiun, Duan jarang tampil di muka umum. Namun, kisah legendarisnya dan BBK akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya popularitas Oppo dan Vivo.
Saat pertama kali muncul, produk-produk Oppo dan Vivo kerap disebut sebagai “tiruan iPhone versi murah”, sama seperti Subor yang dicemooh sebagai peniru Famicom.
“Yang terbaik tidak akan punya masalah muncul belakangan. Mereka hanya akan melakukannya dengan lebih baik dibanding orang lain,” kata Duan pada mahasiswa Stanford University di tahun 2018.
“Kesuksesan perusahaan kami bukanlah sebuah kebetulan. Perlahan, kami membangun reputasi yang akan sangat bernilai untuk jangka panjang,” katanya.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di dalam Bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Septa Mellina sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Ancha Hardiansya)
Source: TechinAsia