skip to Main Content

Cerita 3 Founder yang Sempat Gagal Membangun Startup di Indonesia

“Sekitar 9 dari 10 startup akan berakhir gagal, dan hanya 1 persen di antaranya yang bisa berkembang menjadi unikorn”. Dua kalimat tersebut menggambarkan betapa besar perjuangan dalam mendirikan startup, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Ketika startup gagal dan harus ditutup, seorang founder perlu menulis atau menceritakan apa yang salah dengan bisnisnya. Ini agar menjadi evaluasi ke depannya, seperti cerita kegagalan founder ketika menghadapi sunk cost fallacy ini misalnya.

Pada intinya tidak ada aspek sempurna dalam setiap cerita membangun sebuah startup. Setiap founder pasti pernah menemui kesulitan dan kegagalan mereka masing-masing, seperti yang dialami ketiga founder startup berikut ini. (Kamu bisa tonton video lengkapnya di akhir artikel).

Pivot untuk keluar dari kondisi pasar yang tak menguntungkan

Fakta Startup | Pivot bukan akhir segalanya

Sebelum terjun ke bisnis e-commerce penjualan produk alami dan makanan sehat, salah satu pendiri Lemonilo, Johannes Ardiant sempat mendirikan startup layanan kesehatan bersama Shinta Nurfauzia di tahun 2015.

Pada awal pendiriannya, startup healthcare bernama Konsula tersebut berhasil menarik perhatian salah satu investor lokal, meski produknya masih dalam tahap pengembangan dan baru meluncur di penghujung tahun 2015.

“Pada dasarnya model bisnis yang kami tawarkan mirip dengan Practo dari India dan Zocdoc dari Amerika Serikat,” jelas Johannes.

Dalam kurun waktu satu tahun, ragam penawaran produk dari Konsula pun berkembang sangat cepat, awalnya dari layanan booking dokter, lalu merambah bisnis software as a service (SaaS) manajemen klinik, layanan konsultasi kesehatan, hingga aplikasi membeli aneka produk kesehatan.

Pada pertengahan 2016, Konsula diklaim memiliki 5.000 pengguna aktif bulanan (MAU). Namun di saat bersamaan, industri layanan startup kesehatan juga sedang digeluti beberapa pemain lain seperti Halodoc, AloDokterKlikDokterDokter.id, dan TanyaDok.

Practo yang berasal dari India bahkan juga ekspansi ke Indonesia pada awal September 2015.

Trio pendiri Konsula, Ronald Wijaya, Johannes Ardiant, dan Shinta Nurfauzia

Sengitnya perkembangan pasar berujung pada nasib Konsula yang kurang bagus. Johannes berkata pihaknya menyadari angka pertumbuhan yang mereka raih selama setahun tidak bisa membantunya tumbuh lebih besar lagi.

“Dengan burn-rate yang tinggi, ditambah jumlah angkanya tak kunjung bertambah, retensi pelanggan sangat rendah, dan monetisasi yang masih saja gagal meski sudah dicoba berbagai cara, rasanya itu adalah momen krusial bagi kami untuk berhenti segera dan tidak melanjutkannya lagi,” kenang Johannes.

Johannes sebelumnya sudah mencoba bernegosiasi dengan beberapa investor, namun pada akhirnya Konsula terancam harus tutup karena mulai kehabisan modal.

Menerima kegagalan ini secara lapang menurut Johannes adalah hal yang cukup sulit bagi para founder. Apalagi jerih payah yang dikeluarkan selama proses pengembangan aneka produk (dalam waktu singkat) tadi sangat tidak mudah.

Baginya proses terberat adalah mengomunikasikan kegagalan ini kepada anggota tim yang selama ini mencurahkan fokus serta tenaga mereka, dan percaya produk tersebut bisa berhasil bagi keberlangsungan bisnis perusahaan.

“Ada puluhan orang yang perlu kami ajak berbicara satu demi satu pada saat itu. Intinya Konsula tidak lagi bisa dilanjutkan dan kami terpaksa harus merumahkan kalian. Ini bukan karena kesalahan kalian tetapi kami selaku founder,” kata Johannes kepada timnya kala itu.

Dari kegagalannya membangun Konsula, Johannes memetik beberapa pelajaran berharga terkait pengalaman membangun sebuah minimum viable product (MVP), dan fokus terhadap prioritas visi perusahaan. Johannes beranggapan, meski konsep membuat startup berdasarkan MVP mudah dipahami dari segi teori, tetapi nyatanya tidak semua founder seperti dirinya bisa serta-merta menerapkan hal ini di lapangan.

“Kami baru kembali dari mengenyam pendidikan di luar negeri dan merasa terlalu pintar untuk menciptakan solusi dengan berbekal pemikiran kami saja, tanpa mencari tahu apakah masalah tersebut benar adanya. Dan karenanya kami pun gagal,” kata Johannes.

Selain itu, Johanees juga mengakui tidak memiliki visi yang cukup kuat di awal, sehingga pengembangan produknya tidak terfokus dengan baik dan dengan mudah dapat diatur pihak lain.

“Kami pernah berbicara dengan salah satu kandidat investor dan asal mengolah masukannya secara langsung. Kami langsung berpindah fokus dan mengembangkan produk lain demi kandidat investor tadi. Lantas apakah investornya tertarik dengan kami? Tidak. Apakah produknya bekerja dengan baik? Tidak.”

Johannes akhirnya merasa terlalu banyak mengembangkan berbagai macam produk namun tidak memiliki satu fokus masalah spesifik untuk diselesaikan.

Harapan untuk mengatasi berbagai macam masalah sekaligus inilah yang membuat mereka nyaris kehabisan uang sebelum akhirnya pivot dengan sisa modal empat bulan yang tersisa. Mereka lantas mulai menjalankan startup Lemonilo.

Dari tahun 2016 hingga 2020, Lemonilo kini telah berkembang tidak hanya menjadi e-commerce penjualan aneka merek produk alami saja, tetapi juga sebagai brand makanan sehat yang diproduksi sendiri oleh mereka.

Dengan model bisnis startup barunya, Johannes mengakui pihaknya fokus mengenai cara membuat orang jadi lebih sehat, bukan kepada aspek kesembuhan orang dari sakit yang menurutnya cukup kompleks karena melibatkan regulator dan lembaga profesi yang cukup kaku dalam mengadopsi bisnis digital.

“Spektrum kesehatan adalah hal yang sangat luas, bisa jadi dimulai dari tindakan pencegahan hingga berujung pada penyembuhan rasa sakit. Aspek pencegahan ini yang kemudian menjadi alasan berdirinya Lemonilo,” kata Johannes.

Ambisi founder yang terlalu besar di awal

Terjun menekuni bisnis digital diakui Denny Santoso sebagai jalur yang tidak ingin dijalaninya setengah-setengah. Pria yang memulai kariernya sebagai sales suplemen sejak tahun 1999 ini memiliki ambisi cukup besar untuk menumbuhkan SixReps, startup media sosial kebugaran yang dia rintis pada tahun 2010 silam.

“Setelah pensiun dini dari berjualan suplemen, pada waktu itu saya tertarik mendirikan media sosial khusus untuk para pegiat aktivitas kebugaran,” kenang Denny. Dorongan ide membuat media sosial ini muncul di saat bisnis internet sedang booming.

“Saya bahkan mendapatkan dukungan dan dorongan dari tokoh penyalur suplemen terkemuka saat itu, ia berniat memberikan investasi modal sebesar US$10 juta (sekitar Rp146 miliar) jika startup ini berhasil saya bangun,” tambahnya.

Berbekal modal “pensiun dini” yang ia punya, Denny lantas melakukan hal berani yakni premature scaling untuk menggenjot perkembangan startup SixReps agar pencapaiannya bisa bagus di mata investor pertamanya.

“Saya melakukan scaling dan hiring gila-gilaan, mulai dari memperkerjakan SEO, Senior Developer, Junior Developer, dan lain-lain,” kata Denny. Ia bahkan membeberkan burn-rate per bulan saat membangun SixReps bisa mencapai angka Rp100 juta hingga Rp200 juta.

Namun setelah jalan tiga tahun, akhirnya media sosial khusus kebugaran ini harus gagal karena pengguna yang berhasil bergabung, tetap memilih media sosial populer lainnya untuk melanjutkan perkenalan mereka di luar SixReps.

Denny Santoso (tengah) dalam peluncuran startup barunya, Tribelio

Gagal membangun SixReps, Denny lantas melakukan pivot dengan mendirikan layanan media sosial baru lainnya dengan memanfaatkan tenaga dan teknologi yang ia miliki. Ia pun mendirikan Beautiplan, sebuah layanan media sosial yang khusus dipakai untuk menjembatani peminat kecantikan dan make-up artist.

“Namun masalahnya tetap sama, kita tidak fokus terhadap solusi masalah yang benar-benar dibutuhkan di lapangan. Kita terlalu mondar-mandir kebanyakan ide, dieksekusi semua, tetapi tidak ada yang bisa menghasilkan (return of investments),” jelas Denny.

Akhirnya kita tutup semuanya, setelah terus menerus mengalami loss tiga tahun dengan nilai mencapai Rp4 miliar. Dan itu duit sendiri, investor (SixReps) tadi tidak jadi masuk.

Dari hasil evaluasi kegagalannya membangun dua platform media sosial ini Denny mengenali kelemahannya sebagai founder, meskipun beruntung memiliki kesempatan mengeksekusi ide dan modal. Ia beranggapan ketika seorang founder memiliki advantage, dalam level tertentu ia akan tergoda untuk mengambil setiap kesempatan yang muncul di depannya.

“Setiap kesempatan akan terlihat sebagai kesempatan bagus. Kamu akan tergoda ‘kenapa tidak diambil saja sih? Ini kan ada duitnya, lalu yang itu juga, kenapa tidak diambil semuanya saja?’ Ada keinginan ke sana lama-lama,” jelas Denny.

Kondisi seperti ini lantas mendorong Denny melakukan premature scalling yang kemudian berujung pada rentetan masalah lain seperti kurangnya fokus terhadap pemecahan masalah, dan leadership yang keliru.

“Kesalahan tersebut murni ada pada saya selaku (founder) pembuat keputusan. Saya yang melakukan kesalahan premature scaling, yang membuat sekian banyak keputusan saya, dan juga tidak fokus. Pelajaran pentingnya, kita tidak bisa menyalahkan orang lain atas kegagalan-kegagalan tersebut, karena jika founder tersebut menyalahkan pihak lain berarti ia tidak belajar apa pun dari kegagalan yang dialaminya.”

Jatuh bangun mendirikan startup tidak lantas menyurutkan Denny untuk berkecimpung di bisnis digital. Setelah gagal dengan SixReps dan Beautiplan, Denny aktif di dunia digital marketing hingga investor properti dan startup bisnis penyewaan WiFi lokal.

Pada tahun 2019, ia kembali di bidang sosial media dengan mendirikan startup plaform community marketing bernama Tribelio.

Inti membangun startup adalah belajar

Jika kamu mengikuti perkembangan teknologi tanah air sejak 2010, nama-nama layanan perusahaan besar seperti Kakao Talk dan Path mungkin sudah tidak asing lagi.

Di balik kedua perusahaan tersebut, nama Yudhi Domex Mandey menjadi salah satu tokoh yang cukup dikenal, terlebih lagi atas keputusannya untuk mengubah unit bisnis Kakao di Indonesia menjadi creative marketing platform Space# pada tahun 2018.

Jauh sebelum memimpin perubahan Kakao, Domex memulai kariernya di industri startup sebagai Creative Director di Livelynk, Austrailia. Sekembalinya dari luar negeri di tahun 2010, Domex mencoba mendirikan startup bernama BibTalk, sebuah e-commerce khusus kebutuhan ibu hamil dan kelahiran bayi.

Dari pengalaman pertamanya membangun startup, ada dua masalah yang ia identifikasi:

  • Tidak memiliki landasan latar belakang yang bagus terkait industri bisnis yang ia tekuni (industri peralatan ibu dan bayi).
  • Tidak memiliki tim dengan latar belakang IT, sehingga pengerjaan teknisnya lebih banyak dilakukan secara outsource (yang mana justru semakin mahal).

Gagal membangun BibTalk, Domex lantas melakukan pivot dengan mendirikan TipsDokter tahun 2012 hingga 2014. “Sama seperti Johannes (dari Lemonilo), kita pun lompat ke peluang bisnis layanan healthcare tetapi memutuskan mundur karena pasar Indonesia yang masih belum siap,” ungkap Domex.

Di tengah prosesnya mendirikan TipsDokter, Domex juga membuat platform kencan bernama Tristup di tahun 2013. Platform ini membidik pengguna dari Australia. Dari sini, Domex belajar banyak hal fundamental membangun produk startup yang kemudian membuatnya melakukan pivot, fokus layanan Tristup ke Indonesia dengan nama layanan baru, Wavoo.

Dalam perjalanannya, Wavoo terpaksa tutup di tahun 2016. Domex beralasan saat itu kondisi permodalan Wavoo sangat terbatas sehingga ia harus mengerjakan proyek lain, sedangkan startup yang ia dirikan akhirnya diambil alih sang investor dan harus tutup sesaat setelah ditinggal pergi para founder.

Dengan pengalamannya jatuh bangun mendirikan startup, Domex berkata inti dari membangun startup adalah komitmen mengatasi sebuah masalah. Bagi Domex, hal ini memerlukan pertimbangan matang, apalagi jika posisi founder sebelumnya sudah dalam karier pekerjaan yang bagus serta masih memikirkan kebutuhan keluarga, dan lain-lain.

“Kamu tidak bisa asal mendirikan perusahaan hanya karena melihat keberhasilan William Tanuwidjaya dan Mark Zuckeberg. Kamu perlu tahu risiko hingga konsekuensi dari membangun sebuah startup. Hanya dari kegagalan mendirikannya kamu bisa belajar banyak,” kata Domex.

Cerita di atas merupakan inti sari dari video TIA Conference 2018. Kamu bisa tonton versi lengkapnya dalam pada video berikut ini.

(Diedit oleh Ancha Hardiansya)

Source: TechinAsia

Back To Top