[Coffee Hour] Mengukur Efektivitas Campaign pada Media Digital Luar Ruang
Ketika televisi mulai membuat penontonnya jenuh, media alternatif seperti layanan streaming menjadi tren baru penyebaran informasi. Namun infrastruktur internet tanah air yang masih menjadi kendala memberikan ruang munculnya inovasi baru berbagi informasi.
Salah satunya adalah digital out of home (DOOH). Pengaplikasiannya bisa banyak kamu temukan di ruang publik seperti halte bus, sampai di dalam lift. Namun terlepas dari sekadar menjadi medium untuk menyebarkan informasi, seberapa efektifkah DOOH di mata pengiklan?
Pada kesempatan kali ini, Tech in Asia Indonesia berbincang dengan President Director MacroAd DOOH Wahyudi. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, langsung saja simak wawancaranya.
Bisa dijelaskan Linikini itu apa?
Linikini adalah bagian dari unit bisnis MacroAd. Sebenarnya unit bisnis utama kita adalah DOOH yang sederhananya merupakan media di luar ruangan, atau televisi yang tidak berada di rumah. Linikini sendiri selain menghadirkan teknologi penyampaian informasi lewat layar di commuter line, juga membuat konten sendiri.
Apa yang menginisiasi lahirnya Linikini?
Di akhir tahun 2014 kita mulai mematangkan konsepnya dan di tahun 2015 awal kita mulai melakukan uji tayang di sepuluh rangkaian commuter line di Jakarta dan Bogor. Alasan awal kami menjadikan commuter line sebagai medium penempatan DOOH adalah potensinya.
Pengguna moda transportasi tersebut dalam sehari jumlahnya bisa mencapai 1,1 juta orang. Terlebih dengan tingkat kemacetan Jakarta yang sangat tinggi, mereka yang berasal dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi akan menambah jumlah pengguna commuter line.
Alasan lain dipilihnya transportasi sebagai media alternatif adalah karena ranah ini tidak pernah lepas dari keseharian manusia. Di weekday orang menggunakannya untuk bekerja, sementara di akhir pekan transportasi berguna saat orang-orang ingin pergi ke tempat hiburan atau silaturahmi dengan keluarga.
Dari prototipe, sampai akhirnya berbentuk layar seperti yang ada di commuter line sekarang bagaimana prosesnya sih?
Pastinya kita melakukan riset dulu untuk spesifikasi layarnya. Dari mulai ukuran, jenis layar, housing, apakah layar yang digunakan sudah bisa memenuhi kebutuhan hiburan pengguna commuter line? Akhirnya didapat bentuk yang seperti sekarang. Layar yang memanjang dengan audio.
Kita juga bahkan melakukan riset rata-rata tinggi pengguna kereta, sehingga jelas ketika orang lewat tidak akan terbentur layar. Sampai di mana layar ini akan diposisikan dalam kereta. Di sinilah kita melakukan validasi bila produk ini memang memungkinkan untuk diaplikasikan.
Apakah media seperti ini sudah ada di negara lain, dan diduplikasi ke tanah air?
Di sejumlah negara seperti Jepang, Thailand, atau Jerman itu memang sudah ada yang serupa. Tapi kalau orang bilang ‘wah ini seperti di luar negeri ya’, saya berani bilang ini lebih dari luar negeri.
Penduplikasian yang kita lakukan ini bukan sekadar meniru. Kita memberikan ukuran (layar) yang lebih besar. Lalu untuk audio juga di beberapa negara masih belum diaplikasikan. Dan yang terpenting adalah kontennya. Karena kita menempatkan Linikini sebagai bagian dari ekosistem commuter line, bukan sekadar bisnis.
Bagaimana peran Linikini dalam menjadi bagian dari ekosistem?
Kami sebagai media bukan sekadar komunikasi satu arah, tapi juga sarana penyampaian informasi dari pihak commuter line untuk penggunanya. Semisal ada gangguan kereta, keterlambatan, atau bahkan kejadian-kejadian lain terkait perjalanan bisa langsung ditampilkan dalam bentuk running text di bagian bawah layar.
Satu hal lagi yang tengah kita kembangkan adalah interaksi. Kita menggunakan aplikasi mobile yang menjadi perpanjangan tangan apa yang penumpang lihat di layar.
Apakah semua elemen dalam pembuatan produk Linikini menggunakan sumber daya manusia internal?
Semua sistem yang kami aplikasikan di Linikini merupakan produk in-house. Karena latar belakang saya juga engineer. Tim konten juga kita punya sendiri, sampai tentunya pemasaran yang memegang peran penting dalam proses monetisasinya.
Kenapa kita memilih untuk memegang semuanya sendiri? Karena dari pengalaman, cukup banyak layar yang kualitas baik dari sistem maupun konten kualitasnya terkesan kurang diperhatikan. Ketika pada akhirnya kita membuka kerja sama untuk konten, itu juga kita kurasi terlebih dahulu.
Berapa lama waktu yang diperlukan Linikini untuk ekspansi?
Setelah di awal 2015 kita mulai dengan sepuluh rangkaian, di bulan September 2015 Linikini melakukan ekspansi ke tiga ratus gerbong. Di satu gerbong ada empat layar, artinya ada 1.200 layar yang kita punya pada saat itu.
Namun kita juga harus beradaptasi dengan PT KCJ, yang melakukan perubahan dari commuter line itu sendiri. Dari satu rangkaian yang tadinya delapan gerbong menjadi dua belas, karena jumlah penumpang yang semakin banyak.
Sekarang Linikini sudah beroperasi di 270 gerbong, dan sudah mencakup keseluruhan Jabodetabek dari yang awalnya hanya Jakarta-Bogor saja. Kita juga terus melakukan survei, menanyakan awareness dengan pengguna, sadar atau tidak adanya layar. Ternyata hasilnya sangat baik.
Ekspansi dari kita juga tidak hanya dalam bentuk menambah layar. Tapi juga layanan. Seperti misalnya sekarang ada Wi-Fi di stasiun. Tujuannya agar orang bisa menikmati layanan secara berkesinambungan. Di tahun ini juga ada rencana untuk ekspansi ke moda transportasi berikutnya.
Apa kendala terbesar dalam menyediakan informasi di ruang publik?
Tentu saja awalnya adalah karena sebagai media kita harus bisa memberikan informasi sekaligus monetisasi. Kita harus melakukan edukasi ke pasar. Walaupun secara kasat mata bisa dilihat media ini ada di ruang publik yang setiap hari potensial dari banyak pihak, awalnya brand atau pengiklan tidak serta merta percaya akan efektivitasnya.
Kita melihat ini dengan analogi ayam dan telur. Maka strategi kita di awal adalah dengan terus meningkatkan kualitas konten dan membuat pengguna commuter line terbantu dengan keberadaan kita, baru berlanjut ke sisi monetisasi.
Masalah lainnya adalah teknologi. Bila kita perhatikan DOOH di lift misalnya, pengaplikasiannya jauh lebih sederhana. Linikini menggunakan sistem real-time yang jelas membuatnya lebih rumit. Nah kita menggabungkan konten nonkomersial dan komersial menjadi sebuah playlist atau di stasiun TV dikenal dengan jadwal acara.
Playlist tersebut kita unggah ke cloud untuk disampaikan ke kereta, dan selanjutnya dilakukan relay antargerbong. Lalu kita menggunakannya di medium berjalan. Di sinilah sebenarnya kita memanfaatkan teknologi IoT. Karena semua teknologi yang kita gunakan terhubung dengan internet.
Apakah di awal-awal juga kerap terjadi masalah, terlebih dengan infrastruktur internet di Indonesia?
Tantangan kita adalah karena kita merupakan pemain pertama (dan hingga saat ini masih menjadi satu-satunya pemain) sehingga kita harus banyak melakukan uji coba. Termasuk soal media player mana yang paling sesuai dengan infrastruktur internet Indonesia.
Namun kita terus menekan tingkat error sampai akhirnya berhasil sampai di bawah lima persen. Artinya itu sudah sangat baik, terlebih kita bisa mencapai tahap itu hanya dalam hitungan bulan saja.
Dengan tantangan yang sedemikian besar, bagaimana dengan sumber daya manusianya?
Kita justru memulainya dengan jumlah terbatas. Contoh engineer, kita berawal dari dua orang, lalu sekarang bertambah ke lima orang saja. Kita mencoba memaksimalkan teknologi di sini.
Mulai dari membuat command center, lalu untuk mengecek kesehatan suatu perangkat, kita merancang sistem agar tidak perlu serta merta orang harus ke kereta untuk melakukan perbaikan.
Jadi karena sumber daya manusia kita terbatas, kita maksimalkan teknologi yang bisa menggantikan peran manusia itu. Termasuk konten, kalau kita terus mengandalkan video maka kita akan terkendala dengan bandwidth. Kita menyiasati dengan membagi porsi video dengan format HTML 5.
Untuk monetisasi sendiri, bagaimana cara untuk meyakinkan pihak-pihak terkait bila ini efektif?
Kalau dari pertumbuhan sih kita selalu mengalami peningkatan, pertumbuhannya di tahun 2016 saja sudah mencapai dua kali lipat tahun pertama. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa membuktikan medium baru ini efektif?
Sesuai konsep DOOH sebagai “televisi” yang ada di luar rumah, jelas itu sudah bisa menggantikan. Prime time di TV adalah pukul 07.00 dan 19.00. Siapa yang di waktu-waktu tersebut sudah ada di rumah dan tengah menonton TV? Dalam kasus masyarakat Jakarta dan sekitarnya, sebagian besar masih berada di jalan.
Keunggulan lain dari DOOH adalah orang tidak bisa mengabaikan iklannya. Di TV orang dengan mudah mengganti saluran setiap ada iklan atau pergi makan saat iklan tayang. Ini sudah menjadi parameter awal yang baik untuk meyakinkan brand beriklan di platform kita. Durasi iklan di Linikini sendiri ada yang tiga puluh detik dan ada pula advertorial yang sifatnya soft selling.
Lalu bagaimana dengan metode tracking untuk brand?
Sebenarnya lagi-lagi kita bisa memanfaatkan teknologi. Seperti misalnya face recognition. Seberapa sering orang melihat ke layar pada tayangan tertentu, tapi cara yang lebih sederhana ada dengan survei yang kita lakukan melalui pihak ketiga.
Survei ini kita lakukan di stasiun tempat penumpang turun, dan penyelenggara survei akan menguji tingkat awareness penumpang pada sebuah brand. Hasil rata-rata surveinya dari brand yang menggunakan cara ini mencapai lebih dari 75 persen.
Cara ini memang bisa dibilang masih kalah bila dibandingkan dengan tracking pada situs web atau aplikasi. Tapi sejauh ini masih bisa menjadi senjata andalan untuk jualan.
Selain itu nilai jual dari DOOH yang ada di commuter line adalah durasi mereka di moda transportasi tersebut. Dari hasil riset kami setiap orang rata-rata duduk di kereta selama 45 menit sampai satu jam. Ini artinya jauh lebih lama dari billboard dan lift yang cenderung hanya sekelebat mata.
Nah, Linikini sendiri juga memperlebar cakupan engagement melalui aplikasi mobile. Ini juga menjadi celah baru untuk monetisasi. Karena karakteristik dari brand adalah selalu meminta sesuatu yang baru.
Bagaimana dengan pengaplikasian audio di ruang publik yang ada banyak orang di dalamnya?
Beberapa konten andalan kita seperti trailer film dan video klip musik jelas memiliki suara. Selain itu konten yang berbentu tip juga menggunakan voice over. Sejauh ini sih kami tidak menerima keluhan soal audio.
Bentuk kontribusi apa saja yang diberikan Linikini bagi ekosistem commuter line?
Kita mencoba terus mencari tahu kebutuhan pengguna. Contoh banyak penumpang commuter line yang ketiduran. Kita membantu dengan menyiapkan alarm berbasis GPS. Hal-hal yang sederhana tapi berguna pagi pengguna.
Kita juga terus berupaya menghadirkan satu paket layanan dalam sekali perjalanan. Sekarang kan sudah ada dari saat masuk stasiun sampai di dalam kereta. Nah kita ingin tetap “bersama” pengguna commuter line saat mereka keluar stasiun dan menggunakan moda transportasi lainnya.
Lalu kita juga berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan orang lewat media. Sebagai contoh perekrutan karyawan, demografi pengguna commuter line 75 persen adalah kaum profesional. Kita bisa menampilkan lowongan di layar. Jadi one-stop service untuk pengguna moda transportasi.
Apa keuntungan dari membuat produk yang sistemnya dikerjakan internal sepenuhnya?
Sebagai sebuah entitas bisnis, kita tidak hanya bisa menjual produk, tapi bisa menjual sistem kalau nantinya ada institusi yang membutuhkan sistem sejenis. Tapi terlepas dari itu, infrastruktur yang kita aplikasikan juga membutuhkan modal yang tidak sedikit sehingga persaingan juga terbatas.
Ada strategi dalam perekrutan engineer untuk layanan seperti Linikini?
Kuncinya mirip dengan membangun rumah. Fondasinya harus benar-benar kuat, agar pengembangannya mudah. Lalu kita rancang sistem yang memang bisa berjalan secara otomatis. Kebetulan saya yang terjun sendiri di awal, dan paham kebutuhan engineer seperti apa yang cocok dengan konsep kita.
[Coffee Hour] adalah artikel mingguan di Tech in Asia Indonesia yang berisi wawancara dengan seorang pakar tentang produk teknologi dan ekosistemnya di tanah air. Jika kamu punya kritik atau saran untuk artikel ini, silakan hubungi pradipta@techinasia.com.
(Diedit oleh Septa Mellina)
The post [Coffee Hour] Mengukur Efektivitas Campaign pada Media Digital Luar Ruang appeared first on Tech in Asia Indonesia.
Source: TechinAsia